Kekayaan Intelektual alias Intellectual Property memang tidak ada di zaman Rasul. Karena pada zaman dahulu, kekayaan hanya terbatas pada materi. Berbeda dengan zaman sekarang dimana kekayaan telah mencakup berbagai hal-hal lain, berkat cara pandang masyarakat yang juga telah berubah. Masyarakat telah memperluas sudut pandang mereka tentang arti harta kekayaan.
Di zaman sekarang, kekayaan telah mencakup hal-hal non materi, diantaranya kekayaan intelektual, hak cipta, rahasia dagang, merek dagang dan lainnya. Perubahan persepsi masyarakat semacam ini dalam syari’at Islam dapat diterima, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan hukum. Kesimpulan ini berdasarkan beberapa alasan berikut:
1. Syari’at Islam datang bukan untuk mengekang urusan hidup umat manusia. Akan tetapi Islam datang untuk memfilter aktifitas dan tradisi mereka; yang menguntungkan dipertahankan dan disempurnakan, sedang yang merugikan dijauhkan. Karena itu, setiap perintah agama pasti manfaatnya lebih besar dari kerugiannya dan sebaliknya, setiap larangan agama, pasti kerugiannya melebihi manfaatnya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 1/138)
Bila demikian adanya, maka pengakuan dan penghargaan masyarakat internasional terhadap kekayaan intelektual seseorang, tidak bertentangan dengan Syari’at. Karena pengakuan ini, mendatangkan banyak kemaslahatan bagi umat manusia. (Qararat Al Majma’ Al Fiqhi Al Islami hal: 192.
2. Harta kekayaan atau yang dalam bahasa arab disebut dengan al maal, sebagaimana ditegaskan oleh Imam As Syafii, adalah: “Setiap hal yang memiliki nilai ekonomis sehingga dapat diperjual-belikan, dan bila dirusak oleh orang lain, maka ia wajib membayar nilainya, walaupun nominasi nilainya kecil.” (Al Umm 5/160)
Dengan demikian, sebutan harta kekayaan menurut para ulama’ mencakup kekayaan intelektual, karena kekayaan intelektual mendatangkan banyak manfaat, dan memiliki nilai ekonomis.
Maka tidak salah kalau Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29 bisa menjadi dasar bagi kita untuk menjunjung tinggi kekayaan intelektual. Karena ayat tersebut dengan tegas mensyaratkan agar orang untuk tidak menggunakan harta kekayaan orang lain, kecuali melalui perniagaan yang didasari atas asas suka sama suka. Apabila hak ekonomis dari pemilik kekayaan intelektual dilanggar, sudah jelas tidak adanya asas suka sama suka.
Am Badar & Am Badar sebagai konsultan Kekayaan Intelektual terkemuka di Indonesia, telah banyak membantu klien baik dalam maupun luar negeri dalam menjamin hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Jangan ragu untuk menghubungi kami di marketing@ambadar.co.id apabila Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut terkait Kekayaan Intelektual. Konsultan berpengalaman kami akan dengan senang hati membantu Anda.
Sumber:
1. Pengusaha Muslim
2. Jurnal Syariah Vol. 17, Taufik (2018).