Dalam menghadapi era Industri 5.0, para pelaku seni khususnya seni pertunjukan dituntut berpikir kreatif dalam menghadapi perubahan zaman. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman terhadap perlindungan hak cipta, khususnya seni pertunjukan bagi seniman dan pelaku seni. Sehingga memberikan pengetahuan terhadap pelaku seni agar dapat mencatatkan atas hasil karya cipta mereka di bidang seni pertunjukan dan juga terkait dengan modifikasi ekspresi budaya tradisional. Untuk itu DJKI Kemenkumham pada 27-28 Oktober menyelenggarakan Sosialisasi Perkembangan Performing Art: Perlindungan Seni Pertunjukan Nusantara, Peluang dan Tantangan Memasuki Industri 5.0. Acara yang berlangsung di Yogyakarta dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube DJKI itu memberikan banyak informasi yang menarik.
Dibuka dengan penampilan Tari Topeng Walang Kekek dari Didik Nini Thowok, kehadirannya tidak hanya menghibur tapi juga memberikan informasi terkait kegiatan tarinya selama ini sudah mengikuti kaedah Kekayaan Intelektual. Ia pun mengingatkan para seniman pertunjukan juga melakukan hal yang sama. “Sekarang sudah waktunya para seniman pertunjukan untuk menghargai karyanya dan memahami prosedur hukumnya,” terangnya.
Pemilik nama asli Didik Hadiprayitno itu juga mengingatkan para seniman muda untuk selalu menjaga tata krama dan etika dalam menggunakan karya milik seniman lain. Setidaknya dengan mencantumkan kredit nama seniman penciptanya sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi. Beliau juga memberikan contoh bagaimana penari atau koreografer yang tetap harus menghargai siapa pun pencipta musik pengiring, walaupun belum mampu membayar royalti.
Memang tidak mudah mengurus royalti pada seni pertunjukan, apalagi seni tari, karena idenya mudah sekali dicuri. Sebagai contoh beliau memaparkan pernah menggarap musik dan Tari Roro Jonggrang dengan model opera pada tahun 2010. Namun, setelahnya banyak sekali yang mencoba memodifikasi karya tersebut tanpa bertanggungjawab dan tanpa izin, mereka hanya meniru dan mengambil musiknya dan menggunakannya. Contoh lainnya adalah saat ada lomba tari di Jepang, dan salah satu performernya menang berkat tari modifikasi itu, yang ditakutkan adalah disinformasi tentang asal tarian yang berasal dari Jepang, bukan dari Indonesia.
Lebih lanjut, Bapak Daulat Silitonga, selaku Direktur Kerjasama dan Pemberdayaan Kekayaan Intelektual menuturkan bahwa pertunjukan atau disebut juga performing art merupakan karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan waktu tertentu. Dalam seni pertunjukan tidak hanya melibatkan satu jenis komponen saja, melainkan melibatkan karya seni lainnya, ketika ada seni tari, terdapat seni lain yg mendukungnya, seperti seni musik dan koreografer. Seni tari seni musik serta musisi yang memainkan juga dilindungi sebagai pelaku pertunjukan.
Pencipta atau pemegang Hak Cipta atau karya seni, haknya telah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Hak Moral dan Hak Ekonomi juga dilindungi dalam Undang-Undang Hak Cipta. Dengan telah diaturnya dalam Undang-Undang Hak Cipta, maka perlindungannya telah terjamin. Maka dengan demikian, bagi publik yang masih sering merekam dan menguntungkan diri sendiri, serta mempublikasikannya ke YouTube dari sebuah performing art tanpa izin, harus ditinggalkan karena akan merugikan pelaku seni.
Di lain pihak, para pelaku seni juga dapat meningkatkan kesadarannya akan Kekayaan Intelektual untuk mencatatkan karyanya di DJKI, sehingga menjadi alat bukti yang kuat ketika terjadi dugaan pelanggaran oleh pihak lain. Jika Partners membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai Hak Cipta, jangan ragu untuk meninggalkan pesan atau email ke marketing@ambadar.co.id.