Grup musik legendaris Dewa, rasanya tidak pernah jauh dari sirkulasi berita hiburan. Baik melalui rilisan baru, kolaborasi apik ataupun ulah personil individu. Jejak band asal Surabaya ini masih bisa dirasakan oleh para pecinta musik di Indonesia. Baru-baru ini pun, mereka bekerja sama dengan Pamungkas, dimana mereka mengadakan konser online bersama dan membawakan lagu-lagu dari diskografi gabungan kedua musisi tersebut.
Konser tadi juga diikuti dengan rilis dari rekaman ulang beberapa lagu klasik Dewa bersama Pamungkas. Selain itu, Dewa juga mengumumkan vokalis baru mereka, yakni Marcello Tahitoe alias Ello. Tentunya ini berita besar bagi para Mahadewa, mengingat bahwa Dewa telah lama resmi tidak memiliki vokalis setelah berpisah dengan Once, namun berita penting seputar Dewa tidak berakhir disitu. Bahkan, yang satu ini bisa saja tidak hanya mempengaruhi Dewa, tetapi juga terhadap industri musik Indonesia secara luas. Seberapa luaskah?
Ahmad Dhani, sang pengarang lagu, keyboardis, atau “part-time musician, full-time politician”, sebagaimana ia menggambarkan dirinya sendiri, hadir sebagai tamu dalam sebuah talk show di Youtube yang dipandu oleh David Bayu, ex-vokalis Naif. Dalam episode tersebut, Dhani menunjukan betapa berwarna-warni karakternya dengan eksplorasi topik yang begitu beragam. Mulai dari keluarga, sejarah Jawa Kuno, industri automotif Korea Selatan, konspirasi barat, dan tentunya politik. Meskipun demikian, musik jelas tetap mendominasi bahan perbincangan, dimana Dhani menjelaskan cintanya kepada band Queen, asal mula Dewa sebagai band beraliran fusion, serta pendapatnya terhadap kondisi industri musik di Indonesia sekarang.
Salah satu highlight dari episode itu adalah ketika Dhani mengekspresikan bagaimana pentingnya bagi musisi untuk memiliki hak cipta atas karyanya. Rights lebih banyak dimiliki label, padahal ini penting untuk masa depan musisi. “Saat musisi sudah tidak dapat bernyanyi atau berkarya, hak cipta dapat menjadi sumber passive income untuk mereka,” tutur Dhani.
Menuju akhir dari episode tersebut, David Bayu banyak menanyakan Dhani soal ulang tahun Dewa yang ke 30, dihitung dari rilis album pertama mereka yakni “19” pada tahun 1992, yang Partners membuat Partners teringat lagu-lagu klasik seperti “Kangen” dan “Kita Sedang Tidak Bercinta Lagi”. Dhani kemudian membeberkan berbagai proyek-proyek mendatang dalam rangka menyambut ulang tahun Dewa. Seperti wacana kolaborasi-kolaborasi dengan Dewa Budjana, Indra Lesmana serta sang host David Bayu. Namun, berita yang paling mengesankan adalah rencana bersama dengan musisi-musisi lain untuk meluncurkan “digital streaming platform” baru, atau layanan streaming musik seperti Spotify.
Dhani belum memberikan penjelasan terperinci mengenai mengenai platform ini, tetapi gagasan tersebut mencerminkan ucapan Dhani sebelumnya soal pentingya hak cipta. Dhani merencanakan bahwa platform streaming tersebut dapat mendukung ekosistem dimana musisi menjadi pemilik hak cipta atas karya mereka, menggeser tradisi industri musik dimana royalti umumnya didominasi oleh label. Dhani mengharapkan bahwa dengan diluncurkan platform baru ini, ia dapat membantu musisi untuk terus sejahtera bahkan setelah mereka tidak berkarya lagi.
Konsep platform streaming dikepalai oleh musisi bukanlah hal baru. Mengingat dengan betapa banyaknya kontroversi seputar royalti dalam dunia layanan streaming, seperti yang kita pernah bahas sebelumnya, rasanya tidak mengejutkan bahwa para musisi ingin membangun platform mereka sendiri. Contohnya adalah Tidal, layanan streaming yang merupakan kepemilikan bersama oleh musisi-musisi besar seperti Jay-Z, Beyoncé, Rihanna, Madonna, Chris Martin, Daft Punk, dan banyak lagi.
Meskipun sangat ambisius, Tidal tidak begitu populer di masyarakat. Banyak kritik dilontarkan terhadap harga langganan mereka yang jauh lebih mahal dibandingkan layanan streaming lain. Selebihnya, walau pihak Tidal menobatkan layanan mereka sebagai platform yang sangat pro-musisi dalam hal royalti, kenyataanya adalah mereka juga pun tidak luput dari kontroversi soal hak cipta. Pada tahun 2016, Yesh Music, LLC dan John Emanuele dari band The American Dollar meluncurkan gugatan class action senilai $5 juta kepada Tidal, dimana mereka mengklaim bahwa layanan tersebut belum memberikan kompensasi pembayaran royalti atas streaming 116 lagu. Isi gugatan tersebut juga menuduh bahwa Tidal dengan sengaja memalsukan data perihal pembayaran musisi serta memotong hak-hak royalti para pihak penggugat sebesar 35%.
Kita masih harus menunggu hadirnya streaming platform baru, atau setidaknya penjelasan lebih lanjut untuk memprediksi bagaimana performanya. Semoga saja lebih dapat diterima oleh publik ketimbang Tidal. Pada akhirnya, mau dengan cara apapun, semoga Ahmad Dhani dan rekan-rekan musisi lain dapat mewujudkan cita-cita mereka dalam mensejahterakan sesama musisi Indonesia.
Terus kunjungi akun-akun social media kami untuk mengakses artikel-artikel menarik seputar dunia Kekayaan Intelektual. Untuk layanan terbaik dalam dunia KI, hubungi kami via marketing@ambadar.co.id
Sumber: