Melalui akun twitter-nya, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa sampai dengan awal Juli 2021, vaksinasi Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 42 juta dosis. Dengan target di bulan Juli 34 juta dosis, Agustus 43,7 juta, September 53 juta, Oktober 84 juta, November 80,9 juta, dan Desember 71,7 juta. Dengan demikian diharapkan 67% atau ⅔ penduduk Indonesia sudah divaksin di akhir 2021 dan herd immunity (kekebalan kelompok) pun bisa tercapai.
Bagi Indonesia dengan jumlah penduduk yang berada di urutan empat terbanyak di dunia, pemenuhan vaksin bagi warganya tentu menjadi masalah tersendiri. Butuh biaya yang tidak sedikit untuk mencapai target herd immunity ini. Maka dari itu, sejak awal Indonesia mendorong kesetaraan akses vaksin bagi semua negara. Seperti yang diutarakan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, “Indonesia mendukung penghapusan hak paten vaksin Covid-19 guna mendorong kapasitas produksi dunia terhadap vaksin.”
Dengan penghapusan dan atau penangguhan hak paten vaksin, maka negara-negara bisa memproduksi sendiri vaksin-vaksin COVID-19 dengan lebih cepat. Karena selama ini terjadi polemik hak paten yang menghambat distribusi vaksin. Normalnya, pemegang paten dapat mengendalikan jumlah distribusi hingga siapa penerimanya dan ini berpengaruh pada hak memperbanyak (Copyright), desain industrial, dan hak terkait. Penangguhan vaksin ini, utamanya untuk membuat peraturan terkait Kekayaan Intelektual perdagangan WTO menjadi lebih fleksibel, sehingga lebih banyak negara yang mampu memvaksinasi warganya dengan lebih cepat. Vaksin tersebut adalah Pfizer-BioNTech, AstraZeneca-Oxford, Johnson & Johnson, Moderna, Sinopharm, dan Sinovac.
Memang, mematenkan vaksin adalah langkah terobosan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang banyak dari jumlah laboratorium yang membutuhkan, untuk distribusi maupun riset. Tetapi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, proses distribusi akan semakin lama.
Di Indonesia dalam Pasal 109-120 Undang-Undang No. 13 tahun 2016 tentang Paten (UU Paten), Lisensi wajib dan pelaksanaan Paten oleh pemerintah telah diatur dimana pada UU Paten menyatakan bahwa pemerintah dapat melaksanakan Paten tanpa izin dari pemegang Paten dalam situasi yang mendesak, diantaranya untuk memproduksi produk farmasi dan/atau bioteknologi yang harganya mahal dan/atau diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang dapat mengakibatkan terjadinya kematian mendadak dalam jumlah yang banyak, menimbulkan kecacatan yang signifikan, dan merupakan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD). Dengan demikian, penemu obat tetap akan mendapatkan hak ekonomi dan ciptaannya terlindungi.
Jika Partners membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai Paten, pendaftaran atau perlindungannya, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui email marketing@ambadar.co.id.