Pada Maret 2022, label Halal Indonesia yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”) mulai berlaku secara nasional melalui Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022.
Sedangkan, label halal yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (“MUI”) resmi berganti dan tidak berlaku secara bertahap. Pergantian label halal ini diungkapkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas.
Berdasarkan keterangan dari Muhammad Aqil Irham, selaku Kepala BPJPH, pelaku usaha yang masih menggunakan label halal yang diterbitkan oleh MUI dan masih memiliki kemasan yang menggunakan label halal tersebut, diperkenankan untuk menghabiskan stok kemasan terlebih dahulu. Kemudian, apabila stok kemasan dengan logo halal lama sudah habis, serta masa berlaku nomor ketetapan halal dari MUI juga telah jatuh tempo, pengusaha wajib mencantumkan label halal produknya sesuai Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal.
Aqil juga menambahkan bahwa kebijakan ini merupakan salah satu bentuk kemudahan dari pemerintah untuk para pelaku usaha pada masa transisi atas penyelenggaraan sertifikasi halal yang semula diselenggarakan oleh organisasi masyarakat, yaitu MUI kemudian beralih ke pemerintah yang diwakili oleh BPJPH di bawah pengawasan Kementerian Agama dan pelaksanaan sertifikasi halal dari yang sebelumnya bersifat sukarela menjadi wajib.
Logo Halal baru yang baru ini memang mengundang kontroversi. Namun dengan keunikannya, logo ini tetap tidak boleh digunakan sembarangan, apalagi untuk tujuan komersil, seperti dijual dalam bentuk topi atau kaos dengan gambar logo halal. Karena logo ini sudah terdaftar sebagai Merek di Pangkalan Data Dirjen Kekayaan Intelektual.
Mengapa label Halal Indonesia harus didaftarkan?
Sebelum membahas terkait label atau logo, perlu dipahami terlebih dahulu konsep perlindungan dari merek serta hubungannya dengan logo yang diatur oleh undang-undang.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (“UU MIG”), Merek yang dilindungi terdiri atas tanda berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Kemudian, menurut Pasal 1 Angka (5) UU MIG, hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Selanjutnya, merek terbagi atas merek dagang dan merek jasa. Merek dagang adalah adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya.
Sedangkan, merek jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya.
Sebagai penyandang hak dan kewajiban, menurut Pasal 83 Ayat (1) UU MIG, pemilik merek memiliki hak untuk mengajukan tuntutan bagi para pihak yang menggunakan yang dikutip sebagai berikut:
“Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa:
a. gugatan ganti rugi; dan/atau
b. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.”
Selain penyelesaian melalui gugatan perdata para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
Lebih lanjut, pihak yang melakukan penyalahgunaan terhadap merek juga dapat dijerat dengan ketentuan pidana. Sebagaimana ketentuan pidana tersebut tercantum dalam Pasal 100 Ayat (1) dan Ayat (2) UU MIG yang dikutip sebagai berikut:
“(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
Maka dari itu, dapat diargumentasikan bahwa label Halal Indonesia yang terdiri atas logo, nama, dan kata, susunan warna dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi merupakan sebuah unsur yang menjadi kesatuan dari merek.
Adapun BPJPH selaku badan yang memberikan jasa berupa pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, memiliki label halal sebagai bagian dari penanda baik yang berbentuk 2 (dua) dimensi, maupun 3 (tiga) dimensi. Sehingga label Halal Indonesia termasuk salah satu objek perlindungan dari UU MIG.
Lebih lanjut, sebagaimana menurut keterangan yang tercantum dalam situs Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (“PDKI”), label Halal Indonesia telah mendapatkan perlindungan sejak 19 Januari 2022 dengan kelas nomor 42 berupa layanan sertifikasi produk. Suatu merek akan memperoleh hak atas merek setelah merek tersebut setelah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (“DJKI”).
Dengan demikian, pendaftaran suatu merek merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh pelaku usaha, pemerintah, dan pihak lain yang memiliki sebuah merek sebagai identitas maupun pembeda atas suatu barang dan/atau jasa yang dimiliki oleh perorangan maupun badan hukum.
Perlindungan atas merek memberikan hak eksklusif yang diamanatkan oleh undang-undang dan dilindungi oleh pemerintah kepada pemiliknya. Sehingga, pemilik merek mendapatkan kepastian hukum. Bagi para pihak yang menyalahgunakan dan/atau mengkomersilkan label Halal Indonesia, tentunya akan mendapatkan konsekuensi hukum.
Apabila anda membutuhkan informasi tambahan, konsultasi seputar kekayaan intelektual, pengelolaan perizinan terhadap merek, dan layanan hukum lainnya untuk melindungi bisnis anda, jangan ragu untuk menghubungi kami di marketing@ambadar.co.id
Source:
- Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (“UU MIG”)
- Kompas