Menjadi universitas negeri pertama yang didirikan setelah Pemerintah Indonesia setelah merdeka, tidak membuat UGM (Universitas Gadjah Mada) tertinggal dalam pemahaman dan pemanfaatan Kekayaan Intelektual.
Di tahun 2019 UGM mencatat peringkat tertinggi dalam permohonan paten nasional, dengan jumlah 149. Jumlah ini terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, yakni 33 di 2017 dan 71 di 2018.
Jika dilihat dari Kekayaan Intelektual lainnya, Hak Cipta yang dicatatkan oleh UGM ada lebih banyak lagi. Di tahun 2019, untuk pertama kalinya UGM juga mendaftarkan Desain Industri dan Mereknya, dengan masing-masing 10 dan 9 buah.
Sebenarnya, pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual ini menjadi penting karena:
- Untuk menghindari pelanggaran KI pihak lain
- Menghindari pemanfaatan aset tanpa izin untuk kepentingan pribadi atau kelompok
- Mendorong pemanfaatan KI dengan kontraktual institusional
Selain itu Kekayaan Intelektual universitas dapat memberikan benefit bagi peneliti untuk tetap berinovasi dan berkarya di universitas, melalui:
- Royalti dan Biaya Lisensi Kekayaan Intelektual
- Layanan Konsultasi
- Kontrak Riset
- Riset yang Disponsori
- Pembentukan Unit Usaha Baru
Tapi Kekayaan Intelektual yang dibuat oleh mahasiswa dan dosen UGM harus melewati beberapa tahap sebelum dapat dikomersialisasikan, yang pertama adalah tahap evaluasi. Tahap evaluasi ini memastikan invensi mana yang akan mendapatkan perlindungan Kekayaan Intelektual.
Yang kemudian dilakukan adalah riset untuk mendapatkan masukan dari calon target market. Setelah itu akan dibuat prototype dan negosiasi dengan calon inventor. Setelah melalui proses pengembangan produk dan produk dirasa sudah siap untuk dikomersialisasikan, maka tahap terakhir adalah tahap pemasaran.
Lalu apa bentuk pengkomersialan dari lisensi paten yang sudah ada?
Yang pertama UGM akan membantu untuk membuat spin off company untuk mendukung para inventor agar semakin berkembang. Kedua UGM akan membantu menjual Paten tersebut ke perusahaan-perusahaan swasta, negara maupun perusahaan asing. Atau UGM akan membantu mengembangkan inventor dengan cara membuat startup yang dimulai dari UMKM.
Selain itu pemilik teknologi juga berhak mendapatkan royalti dari hasil invensinya, dapat menjadi konsultan pada perusahaan spin out sesuai kesepakatan yang berlaku dan dapat menjadi founder pada perusahaan startup sesuai kesepakatan yang berlaku.
Salah satu Paten paling terkenal dari UGM saat ini adalah GeNose C19, yang diproduksi spin off company UGM: Swayasa Prakarsa, yang bisa mendeteksi virus Corona melalui hembusan nafas. GeNose C19 ini bahkan disandingkan dengan Rapid test dan SWAB test karena tingkat akurasinya yang lebih dari 90% dengan waktu deteksi selama kurang lebih tiga menit saja.
Alat pendeteksi virus corona yang dihargai 62 juta Rupiah ini, rencananya akan diproduksi sebanyak 20 – 50 ribu unit. GeNose C19 ini akan di sebarkan di beberapa rumah sakit, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, terminal, bandara dan tempat umum lainya. Selain karena ide dan produk yang inovatif ini, alasan utama GeNose C19 dihargai sampai 62 juta adalah karena alat ini sudah didaftarkan Paten-nya, sehingga alat ini tidak dapat ditiru atau diperjual belikan oleh pihak lain selain pihak yang memegang Hak Paten (dalam kasus ini UGM).
Menurut S. Kompiang Wirawan dari UGM Science Techno Park di acara Think IP DJKI, omzet dari GeNose C19 di akhir April 2021 sudah mencapai 150 miliar Rupiah. Valuasi dari perusahaan Swayasa Prakarsa diharapkan mencapai 1 triliun di akhir 2021. Dari spin off company ini, UGM bisa mendapatkan royalti, dividen, dan keuntungan dari penjualan kepemilikan saham.
Sangat menguntungkan bukan, dengan mendaftarkan Paten pada suatu invensi yang kita ciptakan, kita dapat mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Maka dari itu daftarkanlah paten yang kalian miliki. Jika anda ingin mendaftarkan Paten, Merek dan seputar Hak Kekayaan Intelektual atau ingin berkonsultasi terlebih dahulu dapat menghubungi kami di marketing@ambadar.co.id.