Kekayaan intelektual (KI) adalah salah satu aspek penting dalam era perdagangan bebas. Seiring perkembangan ekonomi dan perdagangan, sering kali muncul sengketa ataupun pelanggaran HKI yang menimbulkan kerugian ekonomi bagi pemegang hak. Pada artikel sebelumnya, telah dibahas mengenai opsi yang bisa dipilih apabila Partners menjumpai KI yang dimiliki dilanggar oleh pihak lain. Dan pada kesempatan ini, kami akan memberikan informasi terkait cara-cara penyelesaian sengketa KI.
Penyelesaian sengketa KI tidak berbeda jauh dengan penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis pada umumnya. Penyelesaian sengketa KI dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni jalur litigasi/pengadilan dan jalur non-litigasi/di luar pengadilan.
A. Penyelesaian Sengketa KI melalui jalur litigasi
Penyelesaian Sengketa KI bisa dilakukan melalui jalur litigasi/pengadilan yang dalam hal ini pemilik KI juga dapat memilih untuk menyelesaikan sengketa ini melalui upaya hukum pidana, upaya hukum perdata atau keduanya.
1. Perdata
Apabila pemilik KI yang merasa haknya telah dilanggar, berdasarkan undang-undang di bidang Kekayaan Intelektual, pemilik KI dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain terhadap KI-nya tersebut. Pengadilan yang berwenang dalam mengadili kasus perdata KI untuk pelanggaran Rahasia Dagang, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri sedangkan untuk pelanggaran jenis KI lainnya adalah kompetensi Pengadilan Niaga.
2. Pidana
Selain meminta ganti rugi dalam bentuk gugatan perdata, upaya hukum yang dapat dilakukan adalah upaya pidana. Undang-undang di bidang KI pun mengatur ketentuan pidana. Pemilik KI tetap dapat mengajukan tuntutan pidana meskipun telah mengajukan gugatan perdata. Namun, apabila gugatan perdata dan tuntutan pidana terjadi bersamaan, maka gugatan perdatalah yang akan didahulukan.
Sebelum dilakukan tuntutan pidana biasanya pemilik menegur pihak yang melakukan pelanggaran terlebih dahulu (somasi). Sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Pasal 153 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, pemegang hak atas paten dan/atau hak cipta harus terlebih dahulu dilakukan mediasi antar para pihak yang bersengketa sebelum mengajukan tuntutan pidana. Hal ini sejalan juga dengan prinsip hukum pidana yakni “ultimum remedium” yang menyatakan bahwa upaya pidana disebut sebagai upaya terakhir dalam menyelesaikan sengketa. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pencipta atau pemilik KI dapat melaporkan tindak pidana kepada penyidik pejabat Kepolisian, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) KI di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, ataupun PPNS KI di Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa.
B. Penyelesaian Sengketa KI secara Non-Litigasi
Penyelesaian KI secara non-litigasi atau di luar pengadilan dapat juga dilakukan melalui mediasi, negosiasi, konsiliasi atau arbitrase. Cara penyelesaian sengketa secara non litigasi dikenal juga dengan istilah alternatif penyelesaian sengketa, adalah:
1. Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator yang bersifat netral dan tidak memaksakan suatu penyelesaian. Hasil dari mediasi merupakan kesepakatan damai yang dikuatkan oleh mediator menjadi akta perdamaian.
2. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa antara para pihak yang ditengahi oleh seorang konsiliator. Berbeda dengan mediator, konsiliator bersifat lebih aktif memberikan saran dan pendapat atas permasalahan yang terjadi.
3. Negosiasi
Negosiasi merupakan penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan tanpa adanya pihak ketiga.
4. Arbitrase
Salah satu pilihan penyelesaian sengketa tersebut adalah melalui lembaga arbitrase. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU APS), Arbitrase adalah Cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan Pasal tersebut, penyelesaian melalui arbitrase haruslah berdasarkan perjanjian tertulis dari kedua belah pihak, baik perjanjian itu dibuat sebelum maupun sesudah terjadi sengketa.
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian merek Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Terdapat beberapa perbedaan antara pengadilan dengan arbitrase. Pertama, proses persidangan arbitrase bersifat tertutup dan rahasia, hal ini merupakan salah satu alasan mengapa umumnya pengusaha lebih memilih penyelesaian sengketa di arbitrase demi menjaga nama baik dirinya dan perusahaan. Kedua, para pihak dapat menominasikan arbiter yang paham dengan bidang yang disengketakan sebagai anggota dari Majelis Arbiter. Ketiga, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun, tidak seperti pengadilan yang masih dapat mengajukan banding dan kasasi. Selain itu, para pihak dapat menentukan sendiri lembaga arbitrase mana yang akan dipilih untuk menyelesaikan sengketa.
Penyelesaian sengketa alternatif mediasi dapat dilakukan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dengan mengajukan permohonan mediasi oleh pemohon atau termohon dan/atau kuasa para pihak. Pada tahun 2012, suatu badan arbitrase dan mediasi yang secara khusus menangani sengketa hak kekayaan intelektual yang bernama Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI) resmi diluncurkan. Salah satu pertimbangan didirikannya badan ini adalah karena arbitrase merupakan pilihan penyelesaian sengketa dalam kebanyakan kontrak bisnis internasional. Sejak tahun 2019 BAM HKI telah bekerja sama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan Pusat Mediasi Nasional dalam menangani perkara hak kekayaan intelektual.
Am Badar & Am Badar sebagai konsultan Kekayaan Intelektual di Indonesia, telah banyak membantu klien baik dalam maupun luar negeri dalam menjamin hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Jika Partners memiliki masalah sejenis atau ingin memastikan apakah Arbitrase adalah langkah penyelesaian sengketa yang tepat untuk perusahaan Partners, jangan ragu untuk menghubungi kami di marketing@ambadar.co.id. Konsultan berpengalaman kami akan dengan senang hati membantu Anda.
Sumber:
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
- DJKI: Modul Kekayaan Intelektual
- Permanent Mission of the Republic of Indonesia to the United Nation, World Trade Organization and other international organizations: Penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) mengenai Alternative Dispute Resolution (ADR) antara Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan World Intellectual Property Organization (WIPO)