Makhluk “Zombie” sudah lama menghantui media budaya populer. Partners tidak perlu menjadi fans genre horror untuk mengenali sosok mayat hidup yang bisa memperbanyak kaumnya dengan cara mengejar dan menggigit manusia. Zombie telah menjadi figur sentris dalam berbagai franchise laris seperti “Night of the Living Dead” (1968), “Resident Evil” (1996), “Zombieland” (2009), “The Walking Dead” (2010), dan “Train to Busan” (2016). Atau film-film laris lepasan yang tidak kalah populer seperti “I Am Legend” (2007), “World War Z” (2013), dan “One Cut of the Dead” (2017). Popularitas ini jika dinilai dari jumlah kehadirannya pada media film layar lebar dan serial TV, jelas jauh di atas monster-monster lain seperti Drakula atau Mumi. Puncaknya adalah di tahun 2014 saat 55 film zombie baru membanjiri layar dunia.
Meskipun demikian, George Andrew Romero, kreator dari makhluk yang kita kenal sekarang sebagai Zombie ini justru hampir tidak menikmati keuntungan dari yang seharusnya layak ia dapatkan. Kenapa? Persoalannya sepele, tapi fatal, yakni tidak mencantumkan tanda Hak Cipta saat film itu didistribusikan. Tapi bukankah Hak Cipta timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata?
Ya, itu benar jika mengacu pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta di Indonesia. Tapi pada tahun 1968 di Amerika, Undang-Undang Hak Cipta-nya memiliki aturan setiap film yang dipublikasikan, didistribusikan, atau ditayangkan di bioskop harus “mencontreng” tanda Hak Cipta jika ingin menjaga Hak Ciptanya. Kalau tidak, maka akan dianggap Public Domain.
Makhluk pemakan manusia ini pertama kali muncul di film “Night of the Flesh Eaters” produksi Image Ten dimana Romero menjadi sutradara, penulis naskah, kameramen, sekaligus editornya. Oleh Image Ten, film tersebut ditandai Hak Ciptanya. Tapi kemudian Walter Reade Organization, selaku distributor yang berperan dalam memasarkan film ini ke bioskop berpendapat judulnya perlu diganti, karena terlalu menyeramkan. Sialnya, saat judulnya sudah diganti menjadi “Night of the Living Dead” tanda Hak Cipta itu lupa dicontreng. Maka dianggaplah film ini sebagai Public Domain.
Walter Reade Organization dan Image Ten, juga Romero memang tidak merasa rugi saat itu karena film yang dibuat hanya dengan budget USD 114.000 bisa mendatangkan USD 30 juta dari penjualan tiket. Keuntungan lebih dari 260 kali lipat Ini membuktikan kalau monster rekaannya menjadi hal yang sangat fenomenal dan populer luar biasa pada zamannya. Tapi setelahnya, mereka tidak bisa meng-klaim royalti dari penjualan video yang dilakukan oleh pihak lain, termasuk penayangan ulangnya di berbagai media.
Saat Romero membuat film kelanjutannya 10 tahun kemudian, zombie-zombie lain yang terinspirasi dari karyanya sudah duluan muncul di mana-mana. Tapi ini tidak menyurutkan Romero untuk melanjutkan kisah Zombie-nya. Setelah “Dawn of the Dead” (1978), ia masih lanjut menyutradarai dan menulis naskah “Day of the Dead” (1985), “Land of the Dead” (2005), “Diary of the Dead” (2007), dan “Survival of the Dead” (2009).
Walaupun Romero sudah meninggal pada tahun 2017 di usia 77 tahun karena kanker paru, film zombie pertamanya masih terus mencetak rekor. Internet Archive(.org) yang membuka akses download untuk film dengan public domain itu menyatakan “Night of the Living Dead” masih menjadi film kedua terbanyak diunduh hingga sekarang, yakni sebanyak 3,3 juta kali unduhan. Makanya tidak mengherankan kalau film lanjutannya, “Night of the Living Dead II” sedang disiapkan untuk tayang di tahun 2022.
Mungkin Partners jadi bertanya-tanya, “Jangan-jangan semua rekor itu justru bisa tercipta karena status Public Domainnya?”
Public Domain atau domain publik adalah karya kreatif dan intelektual yang tidak dilindungi oleh hak Kekayaan Intelektual eksklusif. Sebuah karya dapat menjadi domain publik dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah:
- Telah berakhirnya masa berlaku perlindungan atas karya tersebut.
Masa berlaku perlindungan atas karya berbeda-beda pengaturannya di tiap negara. Di Indonesia pengaturan masa berlaku perlindungan sebuah karya diatur dalam Undang-Undang nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) tepatnya pada BAB IX terkait masa berlaku Hak Cipta dan Hak Terkait. - Suatu karya tidak dilindungi Hak Cipta.
Setiap negara juga memiliki hukumnya sendiri tentang karya kreatif apa yang bisa didaftarkan. Sementara di Indonesia Pasal 41 UUHC menerangkan bahwa hasil karya yang tidak dilindungi Hak Cipta adalah hasil karya yang belum diwujudkan secara nyata, setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah ciptaan, dan alat, benda atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional.
“Night of the Living Dead” pada awal penayangannya di bioskop sukses mendatangkan USD 30 juta dari penjualan tiket saja. Yang berarti semua orang secara sukarela datang membeli tiketnya secara legal karena daya tarik film tersebut. Bisa jadi sudah ada faktor “word of mouth” di sana. Yakni sudah ada yang menonton, kemudian merekomendasikan ke teman-temannya untuk pergi nonton di bioskop, dan mereka suka dengan kemunculan monster jenis baru ini, tanpa mengetahui status Hak Ciptanya.
Bukan tidak mungkin, jika saat itu pihak distributor tidak lupa mencontreng status Hak Cipta-nya, George A. Romero tidak kalah masyhur dari Stan Lee dengan karakter super hero Marvel-nya.
Maka dari itu, jika Partners memiliki sebuah karya dan ingin mendapatkan manfaat Kekayaan Intelektualnya, jangan dijadikan Public Domain. Pastikan juga untuk mencatatkannya agar mempermudah pembuktian bilamana ada sengketa di kemudian hari. Jika Partners membutuhkan informasi lebih lanjut tentang Hak Cipta, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui marketing@ambadar.co.id.