Pemilik Restoran Jakarta Hijrah ke Instrumental Alam: Haruskah Izin kepada Burung-Burung yang Berkicau?
“Haruskah kita minta izin kepada burung-burung yang berkicau?” Pertanyaan ini awalnya hanya dilontarkan secara bercanda oleh kolega penulis saat sedang mendiskusikan isu royalti musik di ruang publik. Namun, di balik candaan tersimpan kekhawatiran nyata, khususnya bagi para pelaku usaha di sektor kuliner dan hospitality, yang kini tengah menghadapi risiko hukum akibat pemutaran musik tanpa lisensi.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Setelah kasus hukum yang menjerat Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi Mie Gacoan di luar Jawa, karena diduga memutar musik tanpa membayar royalti ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (“LMKN”), banyak pelaku usaha mulai mencari alternatif. Salah satu tren yang mencuat adalah mengganti musik dengan suara alam, seperti kicauan burung, gemericik air, hingga desiran angin di tengah hutan.
Apakah Suara Alam Bebas dari Hak Cipta?
Dalam praktiknya, pelaku usaha tentu tidak sedang memutar suara burung langsung dari hutan. Umumnya, mereka menggunakan rekaman digital yang diunduh dari internet atau dibeli dari situs penyedia efek suara. Di sinilah potensi persoalan hukum muncul.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 dan 14 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) yang menjelaskan terkait definisi-definisi berikut:
“Fiksasi adalah perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau keduanya, yang dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun.”
“Fonogram adalah Fiksasi suara pertunjukan atau suara lainnya, atau representasi suara, yang tidak termasuk bentuk Fiksasi yang tergabung dalam sinematografi atau Ciptaan audiovisual lainnya.”
Bahwa rekaman dari hewan dan alam yang disebutkan di atas tadi, dapat dikategorikan sebagai suatu fonogram. Dan yang perlu digarisbawahi selanjutnya berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUHC1, bahwa produser dari fonogram tersebut memiliki hak ekonomi.
LMKN juga telah memberikan penjelasan terkait hal ini yang dipublikasikan oleh media Tempo: Komisioner LMKN Bidang Lisensi dan Kolekting, Jhonny W. Maukar, menegaskan bahwa pemutaran suara burung secara langsung dari sumber aslinya, seperti dari sangkar atau alam terbuka, tidak dikenai royalti.2
“Jika didengarkan secara alamiah dari sangkarnya, tidak ada perekaman di situ, maka itu tidak perlu bayar royalti,” ujar Jhonny, Kamis, 7 Agustus 2025. Namun, ia menambahkan bahwa jika suara tersebut telah direkam dan difiksasi—baik dalam bentuk audio digital, video, atau format lain yang bisa diputar ulang—maka hak cipta berlaku. “Kalau ada fiksasi, maka di dalam karya rekam itu ada pelindungan hukum,” lanjutnya.
Hal serupa berlaku secara global. Di Amerika Serikat, Singapura, hingga negara-negara anggota Konvensi Bern yang dikelola WIPO, rekaman suara alam yang telah diformulasikan menjadi karya tetap mendapatkan pelindungan hak cipta.
Di Amerika Serikat, berdasarkan Copyright Act 1976, tipikal suara alam yang direkam dan diedit bisa dikategorikan sebagai “sound recordings” dan dilindungi hak cipta. Singapura, melalui Copyright Act 2021, juga mengakui hak eksklusif pencipta atas karya rekaman suara, termasuk untuk penggunaan komersial.
Sementara itu, World Intellectual Property Organization (WIPO) melalui Konvensi Bern menyatakan bahwa karya yang bersifat orisinal dan telah “difiksasi” dalam bentuk tertentu (seperti rekaman digital), berhak atas pelindungan hak cipta lintas negara.
Dengan demikian, pelaku usaha tidak bisa berasumsi bahwa suara burung yang mereka temukan di internet otomatis bebas digunakan. Jika suara tersebut diunggah oleh pencipta di platform seperti Shutterstock, Envato Elements, atau bahkan YouTube dengan bentuk video, maka perlu diperiksa lebih jauh lagi.
Risiko bagi Pelaku Usaha
Pasal 24 ayat (2) UUHC memberikan produser dari fonogram hak ekonomi atas ciptaannya, termasuk hak untuk memberi izin dan memperoleh imbalan dari pemanfaatan karya mereka. Maka, jika sebuah restoran memutar rekaman suara alam milik produser tanpa lisensi, mereka tetap bisa dianggap melanggar hak cipta.
Ancaman hukum tidak main-main: dalam konteks penggunaan komersial, pelanggaran dapat dikenai sanksi pidana paling lama 1 (satu) tahun hingga 4 (empat) tahun penjara atau denda paling banyak serratus juta hingga maksimal satu miliar rupiah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 117 ayat (1) dan (2) UUHC.3
Meskipun terdengar tidak lazim, rekaman suara burung, air terjun, atau gemericik sungai pun bisa memiliki “pemilik” yang sah secara hukum, jika telah difiksasi dan didistribusikan melalui platform berlisensi.
Jalan Tengah yang Aman dan Etis
Lalu, bagaimana agar pelaku usaha tetap bisa menciptakan suasana alami tanpa terganjal persoalan hukum?
Langkah paling aman tentunya adalah dengan memperoleh lisensi resmi dari produsen fonogram untuk penggunaan suara atau musik tertentu. Lisensi ini memberikan dasar hukum yang sah bagi pelaku usaha untuk memanfaatkan karya fonogram dalam ruang usahanya, sekaligus melindungi dari potensi pelanggaran hak cipta.
Yang kedua, pelaku usaha melakukan pembelian rekaman suara untuk mendapatkan hak eknomi. Banyak platform seperti Pixabay, FreeSound, dan Envato yang menjual rekaman suara alam dengan lisensi jelas. Hal ini juga selaras dengan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta, yang menyatakan bahwa: “Pendistribusian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak berlaku terhadap salinan fiksasi atas pertunjukan yang telah dijual atau yang telah dialihkan kepemilikannya oleh Produser Fonogram kepada pihak lain.”
Cara lain yang aman secara hukum adalah dengan merekam suara alam secara mandiri. Seorang pemilik kafe bisa merekam kicauan burung dari halaman belakang rumah, atau desiran angin dari teras tempat usahanya. Hasil rekaman ini tidak hanya sah digunakan, tetapi juga dapat menciptakan identitas suara yang khas dan personal untuk bisnis tersebut.
Alternatif lainnya adalah menggunakan rekaman dari platform yang secara eksplisit mencantumkan label “no copyright” atau “royalty-free.” Namun, meskipun demikian, penting untuk tetap memeriksa statement tersebut lebih lanjut secara cermat guna memastikan bahwa rekaman tersebut benar-benar gratis dan diperbolehkan untuk penggunaan komersial.
Sedikit pandangan penulis di luar aspek hukum, penulis melihat bahwa penggunaan suara alam turut menciptakan suasana yang lebih tenang dan nyaman bagi pengunjung restoran atau kafe. Tanpa dominasi musik, percakapan berlangsung lebih alami, dan suasana makan menjadi lebih santai. Di era pasca pandemi yang mendorong keseimbangan hidup dan ketenangan batin, pendekatan ini terasa semakin relevan.
Jadi, apakah kita perlu minta izin kepada burung-burung yang berkicau?
Jika burungnya berkicau di pohon depan rumah Anda, silakan rekam dan bebas biarkan orang lain menikmati. Tapi jika suara itu berasal dari rekaman yang dibuat oleh orang lain, ya, sebaiknya Anda tahu siapa produsennya dan hargai haknya.
Jakarta, 12 Agustus 2025
Ditulis oleh: Shabrina Defi Khansa
Catatan: Jika Anda memerlukan dukungan hukum atau konsultasi terkait hak cipta, lisensi, atau persoalan kekayaan intelektual lainnya di Indonesia, tim kami di ambadar@ambadar.co.id siap membantu Anda.