Baru-baru ini, Pengadilan Umum Uni Eropa (EU General Court) mengeluarkan putusan penting yang dapat menjadi tonggak baru bagi pendaftaran suara sebagai merek di Uni Eropa. Kasus ini melibatkan BVG, perusahaan transportasi publik utama di Berlin, yang mengajukan jingle berdurasi dua detik untuk didaftarkan sebagai merek suara dalam Kelas 39 (transportasi, angkutan penumpang, dan layanan logistik terkait).
Pada tahap awal, EUIPO menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa jingle itu terlalu sederhana dan singkat untuk berfungsi sebagai penanda asal komersial, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf (b) *Regulation (EU) 2017/1001 on the European Union Trade Mark (EUTMR)**. Board of Appeal kemudian menegaskan keputusan ini dengan menilai bahwa suara tersebut cenderung dianggap sebagai sinyal fungsional, bukan tanda pembeda yang menunjukkan asal suatu barang atau jasa.
Namun, pemohon mengajukan argumen tambahan. Mereka berpendapat bahwa dalam industri transportasi, jingle berperan penting dalam membangun identitas merek, membantu menarik perhatian di lingkungan yang bising seperti stasiun atau bandara, serta memudahkan konsumen mengenali penyedia layanan tertentu melalui suara.
Pemohon juga menegaskan bahwa melodi sederhana tersebut tidak memiliki hubungan langsung maupun fungsi praktis dengan layanan transportasi, serta bukan suara yang lazim didengar selama perjalanan seperti suara mesin atau pengumuman. Jingle ini bersifat orisinal, tidak dikenal publik sebelumnya, dan berfungsi untuk menandai asal komersial layanan mereka.
Selain itu, pemohon menunjukkan bahwa durasi dan komposisi jingle mereka serupa dengan merek suara lain yang telah diterima oleh EUIPO, termasuk milik Deutsche Bahn AG dan Flughafen München GmbH. Bahkan, Pedoman Pemeriksaan EUIPO sendiri mencantumkan contoh suara pendek (seperti empat nada berbeda) yang diakui memiliki daya pembeda.
Akhirnya, EU General Court memutuskan untuk membatalkan keputusan penolakan EUIPO dan menerima pendaftaran tersebut. Pengadilan menyatakan bahwa Board of Appeal keliru dalam menerapkan Pasal 7 ayat (1) huruf (b) Regulation (EU) 2017/1001, karena kesederhanaan atau durasi pendek suatu suara tidak secara otomatis menghilangkan daya pembeda.
Pengadilan juga menekankan bahwa jingle BVG memiliki karakteristik orisinal, non-fungsional, dan mudah diingat oleh konsumen, sehingga memenuhi fungsi utama merek, yaitu menunjukkan asal komersial suatu barang atau jasa. Putusan ini menegaskan bahwa bahkan suara yang sangat singkat dan sederhana pun dapat dilindungi sebagai merek, dan berpotensi membuka jalan bagi peningkatan jumlah pendaftaran merek suara (sound marks) di Uni Eropa di masa mendatang.
Kerangka Hukum di Indonesia: Pengakuan Merek Suara dalam Hukum Nasional
Indonesia juga telah mengakui bahwa suara dapat didaftarkan sebagai merek. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang berbunyi:
“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, merek suara secara resmi termasuk dalam kategori tanda yang dapat dilindungi di Indonesia. Secara umum, merek terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu merek tradisional (seperti merek kata, logo, atau desain) dan merek non-tradisional, yang mencakup merek tiga dimensi, hologram, dan suara.
Untuk memastikan kejelasan representasi, Pasal 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek menetapkan bahwa pemohon wajib menyampaikan dokumen yang menggambarkan karakteristik merek secara jelas. Dalam hal merek suara, regulasi tersebut mengatur bahwa:
“Permohonan pendaftaran merek harus dilampiri dengan dokumen yang menggambarkan karakteristik merek secara jelas.
Untuk merek suara, pemohon wajib menyertakan notasi musik dan rekaman suara.
Apabila suara tidak dapat dinyatakan dalam notasi musik, pemohon dapat menggunakan sonogram (representasi visual gelombang suara).”
Dengan demikian, hukum nasional telah memberikan dasar yang jelas bagi perlindungan merek non-tradisional, termasuk merek suara, asalkan memenuhi syarat substantif dan administratif yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan
Di era digital dan multisensorik, identitas merek tidak lagi terbatas pada visual semata. Suara — baik berupa jingle, melodi, maupun lagu pendek — dapat menimbulkan asosiasi emosional dan pengenalan instan terhadap suatu merek. Putusan EU General Court mengenai jingle BVG memperkuat pandangan bahwa kesederhanaan bukan hambatan bagi perlindungan hukum merek suara.
Indonesia, melalui UU No. 20 Tahun 2016 dan Permenkumham No. 67 Tahun 2016, telah memiliki kerangka hukum yang memungkinkan pendaftaran merek suara. Hal ini membuka peluang bagi pelaku usaha dan kreator untuk memanfaatkan elemen suara sebagai bagian dari strategi branding dan perlindungan kekayaan intelektual mereka.
Untuk pertanyaan lebih lanjut mengenai topik ini atau isu kekayaan intelektual lainnya, silakan menghubungi kami di ambadar@ambadar.co.id.
Sumber:
EU General Court Judgment No. T-288/24 (BVG Sound Mark)






