Mengenal “Right To Be Forgotten” dalam Hak Cipta

Waktu Baca: 3 menit

Era digital pada saat ini memiliki banyak persoalan, salah satunya adalah perlindungan data. Suatu konsep hukum baru pun muncul, yakni hak untuk dilupakan (Right to be Forgotten).  Right to be Forgotten adalah hak individu atau kelompok untuk meminta agar informasi diri atau badan hukum terkait, agar informasi yang memuat konten negatif dihapuskan dari sebuah platform online agar tidak bisa diakses oleh semua pihak.

Konsep ini berawal setelah koran asal Spanyol, La Vanguardia di tahun 2010 memberitakan kasus kepailitan Mario Costeja González yang terjadi di tahun 1998. Mario yang keberatan dengan diangkatnya informasi itu mengajukan gugatan ke Agencia Española de Protección de Datos (AEPD) – instansi di Spanyol yang berwenang menangani kasus-kasus pelanggaran data pribadi – terhadap La Vanguardia dan Google Inc. serta anak perusahaan Google di Spanyol, Google Spain SL.

Google Inc. dan Google Spain SL turut digugat karena setiap kali pengguna internet memasukkan nama González ke dalam mesin pencari Google, Google menampilkan link yang mengarahkan pengguna ke laman web La Vanguardia yang berisi berita kepailitan itu.

Dalam gugatannya, González meminta (i) La Vanguardia untuk menghapus atau mengubah laman web yang memuat berita tentang dirinya dan (ii) Google Inc. atau Google Spain SL untuk menghapus atau menyembunyikan informasi menyangkut dirinya sehingga setiap kali pengguna internet melakukan pencarian, link berita mengenai pailitnya González tidak muncul di daftar hasil pencarian.

González mengajukan gugatan ini karena kasus kepailitan yang dialaminya sudah terselesaikan sehingga pemberitaan atas dirinya menjadi tidak lagi relevan.

Konsep Rights to be Forgotten ini harus diiringi juga dengan memberikan kewajiban kepada penyelenggara sistem elektronik untuk membuat mekanisme kontrol terhadap penyebaran konten negatif (pelanggaran Hak Cipta, Data Pribadi, dan Lainnya).

Hak Cipta merupakan salah satu jenis dari Kekayaan Intelektual (KI) yang sifatnya unik dibandingkan dengan jenis KI lainnya. Hak Cipta memiliki 2 macam Hak yang melekat, yaitu Hak Moral dan Hak Ekonomi. Hak ekonomi adalah hak untuk memanfaatkan ciptaan untuk kepentingan komersial dengan tujuan mendapatkan manfaat ekonomi atas suatu ciptaan. Hak Moral adalah bersifat mutlak dan melekat pada diri pencipta.

Hubungan antara Hak Moral dan Perlindungan Data Pribadi sangat erat. Pada era digital ini salah satu kebutuhan pengguna internet adalah keamanan data pribadi masing-masing. Di Indonesia, ketentuan perlindungan data pribadi diatur spesifik pada Pasal 26 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pasal 26

(1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.

(2) Setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan undang-undang ini

(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Dalam kaitannya dengan perlindungan data, penyelenggara sistem elektronik harus menjalankan kewajiban memberikan notifikasi kepada pengunggah atas konten yang bermuatan privasi seseorang atau yang bermuatan Hak Cipta. Melalui notifikasi ini, penyelenggara memastikan bahwa pengunggah tidak mengunggah konten negatif. Penyelenggara juga harus menyediakan saluran komplain, agar apabila ada pihak yang dirugikan agar segera di proses.

Kebutuhan akan perlindungan data menjadi penting untuk diantisipasi. Melalui konsep Hak Moral yang diambil dari Hak Cipta, bisa diterapkan untuk melindungi data pribadi.

Penerapannya di Indonesia bisa seperti, apabila ada individu yang memiliki kasus di masa lalu yang telah terselesaikan, bisa mengajukan Right to be Forgotten ke penyelenggara sistem elektronik untuk dihapuskan. Apabila tidak ada tindak lanjut dari pihak penyelenggara yang bersangkutan, bisa diajukan gugatan melalui pengadilan.

Tetapi, meskipun Indonesia sudah mengatur soal hak untuk dilupakan, namun proses implementasinya masih belum bisa dilakukan. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang mengatur mekanisme dan tata caranya. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik tetapi tidak mengatur tentang Right to be Forgotten.

Sumber:

  1. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  2. Bambang Pratama. 2016. Prinsip Moral Sebagai Klaim Pada Hak Cipta dan Hak Untuk Dilupakan (Rights To Be Forgotten). Jakarta.

Berita Terkait

Layanan Terkait

Layanan terkait kami berdasarkan artikel

Kami menyediakan berbagai layanan Kekayaan Intelektual yang berkaitan dengan artikel yang Anda baca.

Berinvestasi untuk masa depan yang lebih baik dengan layanan kami