Cetak Sejarah, Kecerdasan Buatan Akhirnya Bisa Jadi Inventor

Waktu Baca: 5 menit

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan adalah salah satu tantangan unik untuk masa depan masyarakat modern. Perkembangan pesat AI, yang awalnya hanya merupakan program sederhana sampai sekarang dapat mendiagnosa pasien, bermain catur, atau bahkan menulis buku, tentu mengundang banyak pertanyaan-pertanyaan mengenai aspek apa dari kehidupan masyarakat yang mungkin dirombak total oleh perkembangan AI. Mengikuti perkembangan berita akhir-akhir ini, tampaknya AI dapat berpotensi memberikan dobrakan dalam dunia Paten.

Partners mungkin ingat pembahasan kami sebelumnya mengenai status AI sebagai pemegang Paten. Singkat kata, DABUS atau “Device for the Autonomous Bootstrapping of Unified Sentience” adalah suatu AI ciptaan Stephen Thaler. Pada tahun 2018 dan 2019, DABUS dikabarkan telah menciptakan dua invensi, yakni sebuah wadah minuman dan sebuah metode penggunaan sinyal cahaya fractal. Thaler segera mengajukan permohonan Paten untuk invensi-invensi ini di beberapa negara-negara, namun uniknya, beliau mencantumkan DABUS sebagai penemunya dan dirinya hanya sebagai “pemilik”. Ini pun melahirkan diskursus menarik yang belum pernah dibahas sebelumnya.

Argumen yang dikeluarkan Thaler adalah bawa DABUS selain betul-betul menciptakan invensi-invensi tersebut, juga dapat mengidentifikasikan aspek kebaruan dari ciptaannya sebelum manusia bisa melakukannya. Meskipun demikian,  permohonan Thaler ditolak di beberapa negara. 

European Patent Office (EPO) menolak permohonan tersebut dengan mengacu kepada Pasal 81 European Patent Convention, yang mengatur bahwa dalam permohonan dimana pemohon bukanlah inventor, maka harus ada keterangan mengenai nama, nama keluarga, serta alamat lengkap milik inventornya. EPO juga membedakan nama yang diberikan kepada pribadi manusia dengan nama yang diberikan kepada benda. Selebihnya EPO juga menetapkan bahwa “inventor” dalam European Patent Convention hanya mengacu kepada manusia, dan untuk saat ini, AI dan mesin bukanlah subjek hukum.

Sementara itu, United Kingdom Intellectual Property Office (UKIPO) menyoroti isu dimana Thaler berargumen bahwa hak DABUS untuk mengalihkan paten akan berpindah ke dirinya sebagai pemilik DABUS.  Tentunya ini menimbulkan pertanyaan apakah AI dapat memiliki hak untuk bisa mengalihkan hak tersebut? Pasal 7 Patents Acts, 1977 of EPO yang membahas mengenai hak untuk  mengajukan permohonan dan mendapat Paten, dengan terang-terangan menggunakan kata “persons” atau “orang” ketika mengacu kepada inventor, inilah yang menjadi dasar UKIPO untuk menolak permohonan Paten yang diajukan. Karena DABUS jelas bukan orang. Selebihnya, UKIPO juga menolak permohonan Thaler sebagai pemilik DABUS, untuk menerima Paten atas invensi ciptaan DABUS. Ini karena Britania Raya mengharuskan adanya “langkah inventif” atau kontribusi nyata kepada suatu invensi untuk mendapat status inventor. Ini menciptakan situasi unik dimana UKIPO mengakui adanya suatu invensi, namun menolak untuk memberikan paten kepada DABUS maupun Thaler sehingga menciptakan situasi vakum hukum.

Selebihnya, kesimpulan yang serupa juga didapatkan di Amerika. The United States Patent and Trademark Office (USPTO) juga menolak permohonan Thaler. Mengacu kepada ketentuannya yang mendefinisikan seorang inventor sebagai “individu”. Ketika Thaler berargumen bahwa interpretasi “individu” begitu luas dan dapat mencakup AI, USPTO kembali membantah dengan menyatakan bahwa pengaturan USPTO juga menggunakan kata-kata penjelasan seperti “himself” dan “herself”.  Hingga mengukuhkan pembatasan ruang lingkup inventor hanya untuk individu manusia.

Semua penolakan pada dasarnya menggunakan alasan yang serupa. Di Indonesia pun, jika ada  permohonan paten dengan AI sebagai inventor, kemungkinan besar juga akan ditolak. Mengingat ketentuan Pasal 1 ayat (3) undang-undang paten Indonesia yang mengatur bahwa penemu adalah orang atau orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide ke dalam kegiatan untuk menghasilkan invensi. Dengan melihat penolakan beberapa negara atas permohonan DABUS, memang premis AI sebagai pemilik paten nampaknya sulit untuk menjadi kenyataan. 

Meskipun demikian, diskursus ini kembali dihidupkan dengan berbagai perkembangan terbaru. Seperti yang terjadi bulan lalu di Afrika Selatan yang secara mengejutkan dunia dengan menerima permohonan paten yang diajukan oleh Thaler, dengan DABUS sebagai inventor. Berbeda dengan pengaturan di negara-negara sebelumnya, South African Patent Act 57 of 1978 tidak menyertakan definisi  atau pembatasan yang jelas untuk “inventor”, dan inilah yang memungkinan pendafataran paten DABUS tersebut. 

Keputusan ini mengejutkan banyak ahli-ahli Kekayaan Intelektual di dunia. Beberapa pihak menuduh kemungkinan adanya kesalahan administratif, mengacu kepada proses paten di Afrika Selatan yang tidak melibatkan proses pemeriksaan ketat. Namun, kritikus-kritikus tersebut nampaknya tidak memperhatikan ambisi Afrika Selatan terhadap revolusi inovasi yang memang sedang berkembang. 

Sejak tahun 2018, pemerintahan Afrika Selatan telah merilis berbagai buku putih penting yakni: White Paper on Science, Technology and Innovation oleh Departemen Sains dan Teknologi, Fourth Industrial Revolution oleh Komisi Presiden, National Data and Cloud Policy in terms of Electronic Communications Act 36 of 2005, dan yang paling penting; Intellectual Property Policy of the Republic of South Africa Phase I of 2018 yang merupakan awal dari reformasi paten di Afrika Selatan. Semua buku putih ini pada dasarnya berangkat dari ide yang sama, bahwa pemerintah Afrika Selatan ingin meningkatkan inovasi untuk memecahkan masalah ekonomi negara. 

Karena selama ini ada kekhawatiran yang jelas tentang isu-isu seperti tingkat inovasi yang buruk, kurangnya dana dan kurangnya infrastruktur yang diperlukan untuk benar-benar menghadapi revolusi industri keempat. Melihat rekam jejak Afrika Selatan akhir-akhir ini mengenai inovasi dan juga potensi besar AI, maka keputusan  mereka soal pemberian Paten sangat masuk akal. Mungkin ini bisa menjadi langkah besar Afrika Selatan untuk mengatasi masalah ekonominya dan bertransisi menjadi negara yang lebih modern.

Tidak lama setelah pengabulan permohonan paten oleh Afrika Selatan, perkembangan menarik soal topik ini juga datang dari Australia. Komisi Paten di Australia yang awalnya menolak permohonan oleh Thaler, dengan mengacu kepada alasan-alasan serupa dengan yang digunakan negara-negara lain. Komisi berasumsi bahwa pengaturan oleh Pasal 15 Patents Act 1990 tidak memperbolehkan AI sebagai inventor. Namun Thaler mendebat keputusan ini, yang lalu ditinjau oleh Justice Beach of Federal Court of Australia. 

Penting untuk mengetahui bahwa hukum paten di Australia serupa dengan hukum Afrika Selatan dimana definisi “inventor” tidak begitu jelas. Ini lah mengapa pengadilan akhirnya memutuskan untuk memperluas definisi inventor hingga juga melibatkan AI. Saat memberikan keputusannya, pengadilan juga menyebutkan “dengan memerhatikan perkembangan abad 21”. Meskipun demikian, pengadilan memutuskan bahwa meskipun DABUS diakui sebagai inventor, DABUS tetaplah bukan manusia atau subjek hukum sehingga tidak punya hak kepemilikan. Oleh karena itu, hak dimiliki oleh Thaler sebagai pemiik DABUS, namun DABUS lah yang merupakan inventor atas invensi-invensi yang dipantenkan tersebut.

Sulit untuk mengetahui pasti apa pengaruh keputusan Afrika Selatan dan Australia kepada sikap negara-negara lain. Meskipun keputusan-keputusan tersebut hanya relevan di negara masing-masing. Hukum Paten, karena sifatnya, memiliki sedikit keselarasan international. Pengadilan kerap mempertimbangkan keputusan dari negara lain untuk sebagai panduan, terutama di antara negara-negara common law seperti Australia, Selandia Baru, Inggris, dan Kanada. Selebihnya, dengan semakin berkembanganya AI, kita sebaiknya siap mengantisipasi masalah ini, dan masalah sejenis di masa depan.

Thaler menyebutkan pentingnya adaptasi dengan kehadiran AI. Beliau menyebutkan bahwa apabila invensi oleh AI tidak bisa dipatenkan, maka ini dapat menciptakan vakum hukum yang menghalangi semangat inovasi. Inventor seakan terpaksa menggunakan metode yang lebih tidak praktis dibanding AI, untuk menciptakan sesuatu. Singkat kata, negara-negara harus siap menghadapi ini dan sebaiknya mempersiapkan peraturan-peraturan yang bisa menaunginya. Karena meskipun negara-negara tetap kukuh dengan mempertahankan ruang lingkup “inventor”, maka tetap akan nada tekanan untuk menjaga Paten yang diciptakan oleh AI

Sebelum Partners kalah dari AI, lebih secepatnya daftarkan Paten yang dimiliki. Jika memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai Paten, jangan ragu menghubungi kami melalui marketing@ambadar.co.id.

Sumber:

Berita Terkait

Layanan Terkait

Layanan terkait kami berdasarkan artikel

Kami menyediakan berbagai layanan Kekayaan Intelektual yang berkaitan dengan artikel yang Anda baca.

Berinvestasi untuk masa depan yang lebih baik dengan layanan kami