Era modern ditandai dengan kemajuan teknologi yang pesat, namun juga meningkatkan kemungkinan sengketa dan pelanggaran paten. Salah satu isu yang sering muncul adalah modifikasi kecil pada produk atau proses yang mungkin tampak berbeda, namun masih memanfaatkan esensi dari penemuan yang dipatenkan. Untuk mencegah hal ini, diterapkan doctrine of equivalence.
Doctrine of equivalence adalah prinsip dalam hukum paten yang memungkinkan pemegang paten untuk mengklaim pelanggaran meskipun produk atau proses yang digugat tidak sepenuhnya sesuai dengan klaim paten, tetapi tetap setara dengan penemuan yang dipatenkan. Hal ini bertujuan untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan dengan hanya mengubah elemen-elemen kecil dalam penemuan.
Kasus Graver Tank & Manufacturing Co. vs. Linde Air Products Co. (1950)
Kasus terkenal ini melibatkan dua perusahaan manufaktur Amerika, di mana Linde Air Products Co. menggugat Graver Tank & Manufacturing Co. atas pelanggaran paten. Graver mengklaim bahwa mereka tidak melanggar karena menggunakan mangan, sementara paten Linde menggunakan magnesium. Namun, pengadilan memutuskan bahwa tetap terjadi pelanggaran karena perubahan kecil tidak mengubah fungsi atau hasil yang substansial dari penemuan tersebut.
Pengadilan Amerika menggunakan dua tes utama untuk menentukan apakah pelanggaran terjadi: Tes Fungsi-Cara-Hasil (FWR) dan Tes Perbedaan Tidak Substansial. Kedua tes ini membantu menentukan apakah suatu produk atau proses yang digugat dapat dianggap setara dengan penemuan yang dipatenkan.
Doctrine of Equivalence di Indonesia
Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, prinsip dari doctrine of equivalence tetap tercermin dalam Pasal 21 Basic Proposal for a Treaty Supplementing the Paris Convention. Pasal ini mengatur bahwa klaim dalam paten harus mencakup elemen-elemen yang setara dengan elemen yang diklaim jika elemen tersebut melakukan fungsi yang sama, dengan cara yang sama, dan menghasilkan hasil yang sama.
Sebagai negara anggota Konvensi Paris, Indonesia wajib mengikuti peraturan yang mendukung penerapan doctrine of equivalence, sehingga penting bagi pemegang paten dan pihak terkait untuk memahami ruang lingkup perlindungan paten yang lebih luas.
Kesimpulan
Memahami doctrine of equivalence sangat penting untuk perlindungan paten yang efektif. Baik pemegang paten maupun pihak yang terlibat dalam teknologi harus menyadari potensi pelanggaran yang mungkin terjadi akibat perubahan kecil yang tidak substansial pada penemuan. Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai paten atau masalah terkait Intellectual Property Indonesia, jangan ragu untuk menghubungi kami di ambadar@ambadar.co.id.